Kamis, 13 Juni 2019

Esensi Kehendak Bebas dan Takdir




Bebas atau terikat? Memiliki kuasa atas hidupnya atau hidupnya sudah teratur, tak dapat diubah dan pasti? Masih menjadi sebuah misteri. Kehendak bebas merupakan kemampuan manusia untuk memilih keputusan yang tidak diketahui hasil akhir dari keputusan tersebut, sehingga memiliki sifat probabilitas. Takdir adalah ketentuaan yang mengikat segala keputusan manusia yang telah ditentukan oleh kekuatan metafisika, Tuhan. Konsep kehendak bebas dan takdir ini selalu dikaitkan dengan kesalahan, pertimbangan, serta tanggung jawab. Perspektif saya mengenai eksistensi kehendak bebas dan takdir adalah manusia memiliki keduanya, baik kehendak bebas ataupun takdir dari Tuhan. Tuhan telah memberikan garis haluan besar ke setiap manusia. Pada beberapa titik garis tersebut terdapat gejolak yang terjadi, namun pada akhirnya akan tetap sampai pada tujuan yang sudah diberikan Tuhan. Gejolak itu akan membuat individu menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung bagaimana individu merefleksikan gejolak itu. Dalam praktekya kita bebas memilih takdir yang baik atau takdir yang buruk. Garis haluan besar ini memiliki dua tujuan atau dua akhir yang bertolak belakang. Akhir tersebut bisa disebut dengan bad ending dan good ending. Dalam garis besar ini akan selalu tersedia pilihan ke arah mana individu menuju. Saya akan memberi perumpamaan dalam pemilihan jalan tersebut. Pilihan kita berbentuk cabang-cabang pilihan, di mana ketika kita memilih salah satu cabang kita akan dihadapkan cabang yang baru. Dan cabang tersebut akan pada akhirnya akan memiliki ujung cabang.

Diriwayatkan bahwa telah terjadi wabah penyakit kolera ketika Umar dan pasukannya hendak pergi ke Syam. Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, terjadi sebuah perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat untuk meneruskan perjalanan untuk menyelesaikan tugas mereka, maka mereka harus melewati wabah tersebut. Sedangkan kelompok satunya berpendapat bahwa mereka harus kembali karena mereka adalah sahabat Rasulullah yang masih tersisa, oleh karena itu sebaiknya mereka menjauhi wabah tersebut. Umar lalu mendatangi tetua Quraisy untuk meminta pendapat. Mereka menyarankan agar Umar dan pasukannya kembali ke Rasulullah, Umar menuruti hal tersebut. Lalu ada salah satu sahabat bertanya, “Apakah kamu akan lari dari takdir Allah, wahai Umar?”

Umar menjawab, “Benar, kami menghindari takdir yang satu dan menuju takdir yang lain. Jika kamu menggembalakan unta dan menemukan dua tempat, satu kaya akan rumput dan yang satu gersang. Maka jika kamu menggembalakannya di tempat yang subur tadi, bukankah hal tersebut juga takdir yang diberikan Allah. Demikian pula jika kamu menggembalakannya di tempat gersang milik Allah. Bukankah kamu menggembalakan unta itu dengan takdir Allah juga.” Dari sini terlihat jelas bahwa kita bebas memilih takdir.

Kehendak bebas seseorang juga bisa menyebabkan takdir pasti bagi orang lain. Keputusan kita dalam menentukan langkah juga dapat memberikan dampak pada lingkungan sekitar sebagai takdir. Namun akan datang waktu ketika kita hanya dihadapkan satu pilihan. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa terdapat ayat yang menyatakan ada takdir yang tak dapat dirubah.

Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [65:3].

Dengan memilih takdir yang terbaik maka kita akan menjadi manusia yang baik pula. Untuk mengetahui mana yang terbaik adalah bagaimana keputusan itu baik untuk semua orang, win-win solution, tidak ada yang merugi. Di mana semua mendapatkan kebahagiaan, di situlah makna kehidupan yang sebenarnya.

Menurut Schopenhauer kehendak yang ada di dunia ini bersifat buta dan hanya akan berakhir pada penderitaan. Schopenhauer menilai bahwa kehidupan ini adalah manifestasi dari kehendak buta, di mana kehendak atau keinginan tidak akan pernah bisa di puaskan sehingga rasa tak terpuaskan ini menimbulkan penderitaan. Inilah mengapa Schopenhauer menilai bahwa kehendak akan menuntun pada kesia-siaan. Ketika manusia dihadapkan dengan pilihan, maka yang dilihat adalah akibat dari memilih pilihan, sehingga istilah kehendak bebas tidak ada, karena terikat dengan tanggung jawab dari pilihan tersebut. Dalam pemenuhan kehendak pun manusia cenderung menyertainya dengan rasa serakah. Rasa serakah takkan pernah puas dan akan men6gantarkan pada kehendak yang baru. Maka untuk bahagia kita harus menjalani hidup seperti anak-anak, di mana dalam pemenuhan kehendak dan kebutuhan tidak disertai rasa serakah (Abidin, 2000). Maka cara untuk bahagia juga meerupakan bebas dari kehendak untuk hidup (the will to live), kematian. Kematian adalah bentuk kemenangan atas kehendak hidup (). Selain kematian, kita juga bisa hidup bahagia dengan hidup sederhana, di mana pemenuhan kehendak yag buta dan serakah diminimalisir.  Dia mengatakan bahwa ‘man can do what he wants, but he cannot will what he want’. Maka agar tidak ada kesengsaraan akibat kehendak, menurut Schopenhauer pilihannya mati atau hidup sederhana.

Lain lagi dengan Nietzsche. Kita sebagai manusia memiliki kehendak bebas untuk berkuasa setelah menerima takdir. Terdapat sebuah pernyataan yang bersifat anti-Tuhan dalam pengungkapannya. Dia berkata “God is dead, God remains dead, and we have killed him.” (Carlisle, 2003). Nietzsche menganggap bahwa narkotika di Eropa ada dua hal, salah satunya agama, terumata dia menyinggung Kristen dan Yahudi. Namun pernyataan ini bukan berarti Nietzsche menyuruh kita berhenti pada keyakinan kita, namun ini adalah pernyataan gembira. Dia beranggapan bahwa manusia telah menjadi ‘penguasa bumi’. Kita bebas berkehendak dan menjadi apapun setelah kita dapat jujur kepada dunia yang nyata, bukan menjadi lemah dengan menelan dogma-dogma dunia gagasan (Gaarder, 2006). Nietzsche tidak mengindikasikan bahwa kita akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan pada akhirnya, namun kita bebas untuk berusaha dalam menggapainya, bergumul dengan hasrat dan keinginan kita, lalu bersuka cita atau berduka cita pada hasilnya nanti. Konsep ini disebut sebagai Ṻbermensch / Superman (Manusia Super). Konsep ini memiliki dasar tentang bagaimana menjadi siapa kita yang sejati, manusia yang dapat melewati rintangan kelemahan, itulah manusia super atau manusia unggul (Abidin, 2000)

            Dalam pengalaman saya, saya sering menghadapi posisi seperti Umar bin Khattab. Saya pernah menemui suatu situasi di mana saya harus memilih di antara dua hal. Waktu itu saya mengikuti lomba silat. Berat badan saya sebesar 49 kg. pelatih saya memberikan saya pilihan apakah saya berlomba di kelas B (45-49 kg) atau kelas C (50-54 kg). Dalam waktu 2 hari, saya diharuskan mempertimbangkan pilihan saya karena hal itu dapat mempengaruhi kemungkinan juara saya. menurut pelatih saya, tinggi badan saya merupakan kelebihan saya bila saya masuk ke kelas B. Bila saya mengikuti dikelas C maka lawan saya akan memiliki postur yang hamper sama. Saya memutuskan untuk memilih kelas C, karena menurut saya, saya akan mendapat banyak pengalaman dan tantangan. Pelatih saya mengiyakan hal tersebut. Jalan atau takdir yang saya pilih ini menurut saya adalah yang terbaik bagi saya. Meskipun banyak halangan dan gejolak, namun saya berusaha memahami hal tersebut sebagai sebuah ujian yang akan menguatkan saya. Hasil akhir dari perlombaan itu adalah saya meraih juara kedua.

            Saya juga pernah berada dalam kondisi di mana hanya terdapat satu pilihan di hadapan saya. Ketika saya pergi ke sebuah pantai saat liburan, saya tidak tahu jalan. Akhirnya saya menggunakan Google Maps untuk menunjukkan jalan. Namun karena sinyal buruk, saya tersasar dan bertemu jalan buntu. Tidak ada pilihan lain, saya harus memutar balik dan mencari jalan lain.

            Selain itu juga ada kehendak orang lain yang mempengaruhi takdir kita. Ketika saya SD, orang tua saya bertengkar hingga terjadi KDRT. Semakin hari semakin parah, akhirnya kedua orang tua saya bercerai yang menjadikan saya sebagai anak broken home. Menjadi anak broken home bukanlah kehendak saya, hal tersebut merupakan kehendak bebas kedua orang tua saya setelah banyak pertimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa saya pernah mengalami kondisi di mana kehendak bebas orang lain dapat mengunci suatu takdir seseorang.



Works Cited


Abidin, Z. (2000). Filsafat Manusia 'Memahami Manusia Melalui Filsafat'. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Al-Akkad, A. M. (2002). Kejeniusan Umar. Jakarta Selatan: Pustaka Azzam.

Carlisle, C. (2003). Nietzsche’s Beyond Good and Evil . Richmond Journal of Philosophy 4, 1-7.

Gaarder, J. (2006). Dunia Sophie. Bandung: PT Mizan Pustaka.


Senin, 27 Mei 2019

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PERKAWINAN ANAK




Perkawinan Anak
Hal ini marak terjadi di Indonesia. Di mana perkawinan dilakukan oleh pasangan di bawah umur. Banyak dari pelaku perkawinan ini memutuskan untuk putus sekolah. Hal ini tentunya dipengaruhi berbagai hal, seperti budaya dan moral. Perkawinan dini telah menjadi perhatian khusus dari berbagai komunitas dan lembaga, baik nasional atau internasional, karena ditinjau dari efek samping yang disebabkan. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam perkawinan usia dini, juga resiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, perkawinan anak juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian anak yang dilahirkan. Perkawinan anak ini juga merupakan sebuah bentuk kegagalan dalam sosialisasi perkawinan.
Definisi Perkawinan Anak
Perkawinan anak dapat definisikan sebagai perkawinan di bawah umur atau tidak mencapai batas usia yang telah ditentukan oleh hukum atau Undang-Undang. Setiap negara tentu saja memiliki ketentuan masing-masing. Di Indonesia sendiri secara hukum terdapat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 yang berbunyi :
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria dan pihak wanita.
    Sesuai dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai yang belum mencapai batas usia yang telah ditentukan dalam undang-undang No. 1 tahun 1974, yaitu pihak laki-laki berusia 19 tahun dan pihak wanita berumur 16 tahun.

Hukum Perkawinan Anak
Di Indonesia, belum ada hukum yang secara jelas menyinggung tentang pernikahan anak, namun dalam UU nomor 1 tahun 1947 yang mengatur tentang perkawinan dalam pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”. Dan juga dalam pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Kedua hukum tersebut tidak secara langsung melarang pernikahan anak dibawah umur, namun hanya membatasi usia pernikahan saja.

Hukum ini tidak serta merta diterima langsung oleh rakyat, hukum ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan tokoh masyarakat, mulai dari kalangan feminist seperti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)  yang menganggap bahwa syarat usia minimal perempuan untuk menikah dalam undang-undang tersebut masih dalam kategori belum memiliki kematangan secara fisik untuk bereproduksi sehingga akan rawan memakan korban jiwa. Pandangan lain datang dari Ketua Lembaga Kajian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, dan Direktur “Rumah Kita Bersama”, Lies Marcoes, yang menyatakan bahwa penyebab utama dari maraknya dan langgengnya pernikahan anak di Indonesia adalah ambiguitas hukum tentang definisi usia dewasa dan usia anak-anak yang selalu berbeda dengan konteks hukum satu dengan yang lainnya.

Meski sudah banyak ditentang oleh beberapa pihak, alasan agama seperti menghindari zina dan juga faktor adat atau kebudayaan juga menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan batasan usia minimal seseorang untuk menikah.
Beberapa bulan setelah itu, Mahkamah Konstitusi atau MK akhirnya mempertimbangan usulan-usulan yang telah ada. MK memberikan tenggat waktu paling lama tiga tahun bagi DPR untuk mengubah ketentuan batas usia dalam UU Perkawinan.

Faktor Pendorong Pernikahan Anak
Terdapat beberapa faktor pendorong terjadinya pernikahan anak usia dini. Dimulai dari faktor pendidikan. Faktor ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pernikahan anak usia dini. Rendahnya tingkat pendidikan mendorong terjadinya pergaulan bebas karena yang bersangkutan memiliki lebih banyak waktu luang yang mana seharusnya waktu tersebut dipergunakan untuk pembelajaran dan berada dilingkungan sekolah. Sebagian besa waktu mereka igunakan untuk kegiatan diluar control yang mengarah pada pegaulan bebas dan itulah yang menyebabkan banyak kasus kehamilan pra nikah dan mau tidak mau terrpaksa dinikahkan walaupun usianya tergolong masih belia.

Selanjutnya adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan disini dapat berupa keaadan ekonomi orang tua besangkutan yang tergolong rendah. Kasus yang biasanya terjadi adalah orangtua yang ekonominya pas-pasan sehingga terpaksa menikahkan anak gadisnya dengan keluarga yang sudah mapan perekonomiannya. Namun kadang kala keputusan penikahan tersebut dating dari anak itu sendiri dengan harapan  meringankan beban ekonomi orangtuanya dengan cara menikah pada usia muda. Faktor orang tua juga memiliki peran dalam mendorong pernikahan pada anak usia dini. Berdasarkan pengalaman para orang tua yang juga mengalami pernikahan dini memiliki anggapan bahwa jika anak perempuan lama menikahnya maka akan susah mendapatkan jodoh, karena itulah banyak orang tua yang menikahkan anak perempuannya pada usia dini.  Orang tua yang mengkhawatirkan anaknya pacaran dengan lawan jenis sangat lengket cenderung bertindak tegas dengan menikahkan anaknya tanpa memandang latar belakang kematangan untuk menikah baik kematangan psikologis maupun biologis.

Dan yang terakhir adalah faktor adat istiadat. Faktor budaya memiliki peran dalam mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Apabila dalam budaya setempat mempercayai jika anak perempuannya tidak segera menikah, akan mempermalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya, atau jika ada orang yang secara finansial dianggap mampu meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia dan kesiapan sang anak kebanyakan orangtua akan menerima lamaran tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah dan berharap sang anak bisa mengurangi beban orang tua.

Faktor Penghambat Perkawinan Anak
Ada pendorong, ada pula penghambat. Beberapa hal yang menghambat pernikahan anak usia dini, di antaranya adalah, latar belakang pendidikan dan kehidupan pernikahan orangtua. Orangtua yang berpendidikan tinggi cenderung idealis dan mengharapkan anak untuk berprestasi, bahkan kalau bisa lebih tinggi daripada mereka. Hal ini tentu sulit untuk dilakukan jika anak usia dini yang seharusnya belajar dan mengejar mimpi harus melayani suami. Orangtua juga menggunakan pengalaman berumahtangganya sebagai refleksi. Orangtua cerdas tahu dan mampu menilai apa saja yang baik dan tidak baik dalam berumah tangga, dan pada usia berapa seseorang (anak) mampu atau matang dalam melakukan hal itu. Value atau nilai dalam keluarga juga berperan dalam memberikan pengertian ke anak, bahwa esensi pernikahan bukanlah semata-mata untuk menghindari zina, sehingga anak dapat diarahkan untuk tidak berbuat amoral tanpa harus menikah dini. Anak juga diberi pengertian untuk menghargai diri sendiri, bahwa nilai mereka di masyarakat dilihat dari seberapa bergunanya mereka untuk lingkungan sekitar dan kontribusi untuk negara, bukan dilihat dari laku atau tidak lakunya mereka karena menikah dini. Selanjutnya, ekonomi keluarga yang sudah mapan turut menghambat pernikahan dini. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemiskinan membuat orangtua melepaskan anaknya ke pernikahan dengan seseorang yang lebih mapan atau bahkan si anak yang berinisiatif untuk mengurangi beban orang tua. Maka dari itu, dengan ekonomi keluarga yang berkecukupan, orang tua dan anak tidak perlu melakukan hal ini.

Dampak Positif
Pernikahan anak/pernikahan dini memiliki beberapa dampak positif. Dampak ini dapat kita lihat dari segi kepuasan pribadi dan dari segi agama. Dari segi kepuasan pribadi, pernikahan dini yang didasari cinta dan kebersamaan cenderung akan menghasilkan kebahagiaan. Karena belum tingginya ego mereka dalam berumah tangga dan didasari oleh dasar saling mencintai. Konflik seperti bertengkar bahkan KDRT pun dapat sangat berkurang. Selain itu, hadirnya anak di tengah-tengah mereka dapat membantu menaikan kebahagiaan mereka. Ini karena makin besarnya tanggung jawab yang mereka emban sehingga dapat memicu mereka untuk menghindari masalah-masalah kecil dalam rumah tangga agar dapat fokus mengurus anak mereka. Bagi perempuan, dampak positif yang mereka rasakan berasal dari faktor finansial. Banyak dari perempuan yang menikah dini melakukan pernikahan untuk memperbaiki kondisi keuangan dirinya dan keluarganya. Dari segi agama (islam), pernikahan dini sangatlah membantu bagi individu untuk segera terhindar dari zina.

Dampak Negatif
Tidak sedikit juga dampak negatif perkawinan dini pada anak. Dampak negatif yang paling memungkinkan terjadi adalah trauma bahkan depresi pada anak tersebut karena seringnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan seksual yang biasanya terjadi pada perempuan dikarenakan ketidakseimbangan relasi dan maraknya perceraian pada pasangan muda yang maru menikah. Selain itu adanya “siklus kemiskinan”, dimana anak remaja yang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan yang layak dan belum mapan dan sudah menikah masih bergantung pada orang tuanya sehingga beban orang tua bertambah dua kali lipat, anggota keluarganya sendiri ditambah keluarga anaknya. Kondisi ini akan terus berlangsung dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemiskinan akan terus terjadi.
Dampak sosial juga akan terjadi saat anak tersebut hamil di luar nikah yang kemudian dinikahkan dan dipaksa melahirkan akan kemungkinan dikeluarkan dari keluarganya ataupun diskriminasi oleh masyarakat.

Terakhir, dampak kesehatan yang dapat dialami. Menikah muda sangat beresiko karena rahim belum siap untuk hamil dan dapat menyebabkan rahim pecah yang harus diangkat. Selain itu apabila terjadi kehamilan yang tidak diinginkan dan ingin melakukan aborsi, apabila aborsi yang dilakukan tidak aman dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayi. Penularan penyakit-penyakit seksual seperti HIV/AIDS juga marak terjadi di kalangan perempuan karena rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reprosuksi dan karena sang pasangan (pacar atau suami) sering berganti-ganti pasangan. Tingginya angka kematian bayi karena gizi buruk juga merupakan dampak kesehatan dikarenakan ibu muda tidak tahu menahu masalah kehamilan, sehingga anak yang dilahirkan mengalami berat badan rendah yang menyebabkan kematian padabayi maupun ibu.

Kasus Pernikahan Anak
Pernikahan anak semakin marak terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari data pada tahun 2016 yaitu terdapat 30.000 lebih pengajuan permintaan dispensasi menikah untuk calon mempelai dengan usia kurang dari 16 tahun. Sementara itu,  sesuai dengan data dari BKKBN Jawa Tengah, kasus perkawinan anak termasuk tertinggi, yaitu mencapai 3.876 pada 2016 dan tercatat 358 kasus kematian dalam 100.000 kelahiran bayi. Mayoritas kasus pernikahan tersebut terjadi pada kawasan pedesaan yang budaya dan kepercayaannya masih kental.  

Salah satu contoh kasus pernikahan anak adalah pernikahan AR (13) dan AM (14) pada April 2018 di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Mahdi Bakri, Pelaksana Humas Kantor Kemenag Kabupaten Bantaeng berkata bahwa berdasarkan keterangan tantenya, AM ingin menikah karena takut tidur sendiri di rumah setelah ibunya meninggal setahun yang lalu. Sedangkan,  ayahnya selalu meninggalkan rumah keluar kabupaten untuk bekerja. Sebelum pernikahan ini terjadi, KUA sudah menolak pengajuan pernikahan kedua mempelai karena faktor usia mereka. Namun, kedua mempelai mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Kabupaten Bantaeng dan mendapat dispensasi sehingga mereka bisa melangsungkan pernikahan secara resmi.

Penanggulangan Pernikahan Anak
Untuk meminimalisir terjadinya pernikahan pada anak, diperlukan adanya penguatan pendidikan mengenai kesehatan dalam reproduksi an seksual. Hal ini ditujukan agar para remaja mengetahui bagaimana dampak yang dapat terjadi. Selain penguatan pendidikan, peran orang tua pun sangat penting.Ketika sang anak meminta untuk melakukan pernikahan, orang tua memiliki kewajiban untuk mengedukasi anak mengenai dampak yang akan terjadi jika melakukan pernikahan pada usia dini serta orang tua pun masih memiliki wewenang mengenai pengambilan keputusan. Selain itu, perlu juga diadakan penyuluhan mengenai pernikahan pada anak agar masyarkat mampu menanamkan kesadaran mengenai kehidupan anak yang baik pada usianya serta mengenai pernikahan sesungguhnya.

Refleksi
Setelah memahami bahwa terdapat banyak kasus mengenai pernikahan anak atau pernikahan dini serta lebih banyak dampak negatuf daripada dampak positif, maka kita sebagai Warga Negara yang baik harus memberi pengarahan yang tepat terhadap generasi penerus bangsa, terutama anak-anak. Demi negara dan masa depan yang baik, kita harus berpartisipasi dalam menciptakan suasana masyarakat baik, kondusif, dan harmonis. Setelah membaca tulisan ini, semoga kita lebih sadar tentang buruknya pernikahan anak ini.



Daftar Pustaka
Astuti, I. (2018, Agustus 13). Ambiguitas Hukum Beri Celah Langgengnya Perkawinan Anak. Retrieved April 5, 2019, from Media Indonesia: http://mediaindonesia.com/read/detail/178382-ambiguitas-hukum-beri-celah-langgengnya-perkawinan-anak

Bastomi, H. (2016). Pernikahan DIni Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Indonesia). YUDISIA, Vol. 7 No. 2.


Indonesia, D. P. (2014, May). Djamilah, Reni Kartikawati. Jurnal Studi Pemuda, 3(1).
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perkawinan, Nomor 1 Pasal 7 § Ayat 1 dan 2 (1974).

Lukitaningsih, R., & Kharismawati, D. W. (2013). Studi Tentang Faktor- Faktor ysng Mendorong Remaja Melakukan Pernikahan Dini. Journal Mahasiswa Bimbingan Konserling, 53-54

Mazrieva, E. (2018, Agustus 15). Ambiguitas Hukum Picu Maraknya Perkawinan Anak. Retrieved April 5, 2019, from VOA: https://www.voaindonesia.com/a/ambiguitas-hukum-picu-maraknya-perkawinan-anak/4528657.html

Sakdiyah, H., & Ningsih, K. (2013). Mencegah pernikahan dini untuk membentuk generasi berkualitas. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 26(1).

Setyawan, J., Marita, R. H., Kharin, I., & Jannah, M. (2016). Dampak Psikologis Pada Perkawinan Remaja Di Jawa Timur. Jurnal Penelitian Psikologi, 15-39.

Sudarto, A. (2014). Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol.3 No.1.

Wicaksono, A. (2018, Desember 13). MK Kabulkan Batasan Usia dalam UU Perkawinan. Retrieved April 5, 2019, from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181213110330-12-353335/mk-kabulkan-gugatan-batas-usia-dalam-uu-perkawinan

Yulianto, A. (2018, May 5). Persoalan Hukum Perkawinan di Bawah Umur. Retrieved April 5, 2019, from REPUBLIKA.co.id: https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/p87lbd396/persoalan-hukum-perkawinan-di-bawah-umur

Zuhri, D. F. (2017). Faktor-Faktor Pendorong Pernikahan Usia Dini dan Dampaknya di
Desa Sidoharjo Bawang Batang. Pendidikan Luar Sekolah, 28.