Bebas atau terikat? Memiliki
kuasa atas hidupnya atau hidupnya sudah teratur, tak dapat diubah dan pasti? Masih
menjadi sebuah misteri. Kehendak bebas merupakan kemampuan manusia untuk
memilih keputusan yang tidak diketahui hasil akhir dari keputusan tersebut,
sehingga memiliki sifat probabilitas. Takdir adalah ketentuaan yang mengikat
segala keputusan manusia yang telah ditentukan oleh kekuatan metafisika, Tuhan.
Konsep kehendak bebas dan takdir ini selalu dikaitkan dengan kesalahan,
pertimbangan, serta tanggung jawab. Perspektif saya mengenai eksistensi
kehendak bebas dan takdir adalah manusia memiliki keduanya, baik kehendak bebas
ataupun takdir dari Tuhan. Tuhan telah memberikan garis haluan besar ke setiap
manusia. Pada beberapa titik garis tersebut terdapat gejolak yang terjadi,
namun pada akhirnya akan tetap sampai pada tujuan yang sudah diberikan Tuhan.
Gejolak itu akan membuat individu menjadi lebih baik atau lebih buruk,
tergantung bagaimana individu merefleksikan gejolak itu. Dalam praktekya kita
bebas memilih takdir yang baik atau takdir yang buruk. Garis haluan besar ini
memiliki dua tujuan atau dua akhir yang bertolak belakang. Akhir tersebut bisa
disebut dengan bad ending dan good ending. Dalam garis besar ini akan
selalu tersedia pilihan ke arah mana individu menuju. Saya akan memberi perumpamaan
dalam pemilihan jalan tersebut. Pilihan kita berbentuk cabang-cabang pilihan,
di mana ketika kita memilih salah satu cabang kita akan dihadapkan cabang yang
baru. Dan cabang tersebut akan pada akhirnya akan memiliki ujung cabang.
Diriwayatkan bahwa telah terjadi
wabah penyakit kolera ketika Umar dan pasukannya hendak pergi ke Syam. Umar pun
bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, terjadi sebuah perbedaan
pendapat. Ada yang berpendapat untuk meneruskan perjalanan untuk menyelesaikan
tugas mereka, maka mereka harus melewati wabah tersebut. Sedangkan kelompok
satunya berpendapat bahwa mereka harus kembali karena mereka adalah sahabat
Rasulullah yang masih tersisa, oleh karena itu sebaiknya mereka menjauhi wabah
tersebut. Umar lalu mendatangi tetua Quraisy untuk meminta pendapat. Mereka
menyarankan agar Umar dan pasukannya kembali ke Rasulullah, Umar menuruti hal
tersebut. Lalu ada salah satu sahabat bertanya, “Apakah kamu akan lari dari
takdir Allah, wahai Umar?”
Umar menjawab, “Benar, kami
menghindari takdir yang satu dan menuju takdir yang lain. Jika kamu
menggembalakan unta dan menemukan dua tempat, satu kaya akan rumput dan yang
satu gersang. Maka jika kamu menggembalakannya di tempat yang subur tadi,
bukankah hal tersebut juga takdir yang diberikan Allah. Demikian pula jika kamu
menggembalakannya di tempat gersang milik Allah. Bukankah kamu menggembalakan
unta itu dengan takdir Allah juga.” Dari sini terlihat jelas bahwa kita bebas
memilih takdir.
Kehendak bebas seseorang juga
bisa menyebabkan takdir pasti bagi orang lain. Keputusan kita dalam menentukan
langkah juga dapat memberikan dampak pada lingkungan sekitar sebagai takdir. Namun
akan datang waktu ketika kita hanya dihadapkan satu pilihan. Dalam Al-Qur’an
telah disebutkan bahwa terdapat ayat yang menyatakan ada takdir yang tak dapat
dirubah.
”Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [65:3].
Dengan memilih takdir yang terbaik maka kita akan menjadi manusia
yang baik pula. Untuk mengetahui mana yang terbaik adalah bagaimana keputusan
itu baik untuk semua orang, win-win
solution, tidak ada yang merugi. Di mana semua mendapatkan kebahagiaan, di
situlah makna kehidupan yang sebenarnya.
Menurut Schopenhauer kehendak
yang ada di dunia ini bersifat buta dan hanya akan berakhir pada penderitaan.
Schopenhauer menilai bahwa kehidupan ini adalah manifestasi dari kehendak buta,
di mana kehendak atau keinginan tidak akan pernah bisa di puaskan sehingga rasa
tak terpuaskan ini menimbulkan penderitaan. Inilah mengapa Schopenhauer menilai
bahwa kehendak akan menuntun pada kesia-siaan. Ketika manusia dihadapkan dengan
pilihan, maka yang dilihat adalah akibat dari memilih pilihan, sehingga istilah
kehendak bebas tidak ada, karena terikat dengan tanggung jawab dari pilihan
tersebut. Dalam pemenuhan kehendak pun manusia cenderung menyertainya dengan
rasa serakah. Rasa serakah takkan pernah puas dan akan men6gantarkan pada
kehendak yang baru. Maka untuk bahagia kita harus menjalani hidup seperti
anak-anak, di mana dalam pemenuhan kehendak dan kebutuhan tidak disertai rasa serakah (Abidin, 2000) . Maka cara untuk
bahagia juga meerupakan bebas dari kehendak untuk hidup (the will to live), kematian. Kematian adalah bentuk kemenangan atas
kehendak hidup (). Selain kematian, kita juga bisa hidup bahagia dengan hidup
sederhana, di mana pemenuhan kehendak yag buta dan serakah diminimalisir. Dia mengatakan bahwa ‘man can do what he wants, but he cannot will what he want’. Maka
agar tidak ada kesengsaraan akibat kehendak, menurut Schopenhauer pilihannya
mati atau hidup sederhana.
Lain lagi dengan Nietzsche. Kita
sebagai manusia memiliki kehendak bebas untuk berkuasa setelah menerima takdir.
Terdapat sebuah pernyataan yang bersifat anti-Tuhan dalam pengungkapannya. Dia
berkata “God is dead, God remains dead,
and we have killed him.” (Carlisle, 2003) . Nietzsche
menganggap bahwa narkotika di Eropa ada dua hal, salah satunya agama, terumata
dia menyinggung Kristen dan Yahudi. Namun pernyataan ini bukan berarti
Nietzsche menyuruh kita berhenti pada keyakinan kita, namun ini adalah
pernyataan gembira. Dia beranggapan bahwa manusia telah menjadi ‘penguasa
bumi’. Kita bebas berkehendak dan menjadi apapun setelah kita dapat jujur
kepada dunia yang nyata, bukan menjadi lemah dengan menelan dogma-dogma dunia
gagasan (Gaarder, 2006) . Nietzsche tidak mengindikasikan bahwa
kita akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan pada akhirnya, namun kita
bebas untuk berusaha dalam menggapainya, bergumul dengan hasrat dan keinginan
kita, lalu bersuka cita atau berduka cita pada hasilnya nanti. Konsep ini
disebut sebagai Ṻbermensch / Superman (Manusia Super). Konsep ini
memiliki dasar tentang bagaimana menjadi siapa kita yang sejati, manusia yang
dapat melewati rintangan kelemahan, itulah manusia super atau manusia unggul (Abidin, 2000)
Dalam
pengalaman saya, saya sering menghadapi posisi seperti Umar bin Khattab. Saya
pernah menemui suatu situasi di mana saya harus memilih di antara dua hal.
Waktu itu saya mengikuti lomba silat. Berat badan saya sebesar 49 kg. pelatih
saya memberikan saya pilihan apakah saya berlomba di kelas B (45-49 kg) atau
kelas C (50-54 kg). Dalam waktu 2 hari, saya diharuskan mempertimbangkan
pilihan saya karena hal itu dapat mempengaruhi kemungkinan juara saya. menurut
pelatih saya, tinggi badan saya merupakan kelebihan saya bila saya masuk ke
kelas B. Bila saya mengikuti dikelas C maka lawan saya akan memiliki postur
yang hamper sama. Saya memutuskan untuk memilih kelas C, karena menurut saya,
saya akan mendapat banyak pengalaman dan tantangan. Pelatih saya mengiyakan hal
tersebut. Jalan atau takdir yang saya pilih ini menurut saya adalah yang
terbaik bagi saya. Meskipun banyak halangan dan gejolak, namun saya berusaha
memahami hal tersebut sebagai sebuah ujian yang akan menguatkan saya. Hasil
akhir dari perlombaan itu adalah saya meraih juara kedua.
Saya
juga pernah berada dalam kondisi di mana hanya terdapat satu pilihan di hadapan
saya. Ketika saya pergi ke sebuah pantai saat liburan, saya tidak tahu jalan.
Akhirnya saya menggunakan Google Maps untuk menunjukkan jalan. Namun karena
sinyal buruk, saya tersasar dan bertemu jalan buntu. Tidak ada pilihan lain,
saya harus memutar balik dan mencari jalan lain.
Selain
itu juga ada kehendak orang lain yang mempengaruhi takdir kita. Ketika saya SD,
orang tua saya bertengkar hingga terjadi KDRT. Semakin hari semakin parah,
akhirnya kedua orang tua saya bercerai yang menjadikan saya sebagai anak broken home. Menjadi anak broken home bukanlah kehendak saya, hal
tersebut merupakan kehendak bebas kedua orang tua saya setelah banyak
pertimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa saya pernah mengalami kondisi di mana
kehendak bebas orang lain dapat mengunci suatu takdir seseorang.
Works Cited
Abidin, Z. (2000). Filsafat Manusia 'Memahami
Manusia Melalui Filsafat'. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Al-Akkad, A. M. (2002). Kejeniusan Umar.
Jakarta Selatan: Pustaka Azzam.
Carlisle, C. (2003). Nietzsche’s Beyond Good and Evil
. Richmond Journal of Philosophy 4, 1-7.
Gaarder, J. (2006). Dunia Sophie. Bandung: PT
Mizan Pustaka.